Ketentuan Baru Tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Impor dan Emas Batangan Dalam PMK 51/2025
Pemerintah telah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51 Tahun 2025 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lainnya (PMK 51/2025). Peraturan ini mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 dan memperbarui ketentuan sebelumnya mengenai pemungutan pajak atas impor, ekspor, dan pembelian barang oleh badan usaha dan instansi pemerintah.
Peraturan yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025 ini menekankan pentingnya penyesuaian ketentuan pemungutan PPh Pasal 22 demi kepastian hukum dan efisiensi administrasi.
“Untuk memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemudahan administrasi dalam pengenaan pajak penghasilan dari kegiatan usaha bulion dan impor emas batangan, perlu dilakukan penyesuaian,” demikian tertulis dalam pertimbangan huruf a PMK tersebut.
Pemungut dan Tarif PPh 22 Diatur Ulang
PMK 51/2025 mengatur secara rinci pihak-pihak yang ditunjuk sebagai pemungut PPh 22. Selain Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk kegiatan impor dan ekspor, pemungut lainnya meliputi instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bank emas batangan, dan pelaku industri tertentu.
Sementara itu, tarif PPh Pasal 22 sangat bergantung pada jenis transaksi. Misalnya:
- Impor emas batangan: tarif sebesar 0,25 persen dari nilai impor;
- Ekspor komoditas tambang: tarif 1,5 persen dari nilai ekspor FOB;
- Penjualan kendaraan bermotor: tarif 0,45 persen dari harga jual sebelum PPN;
- Pembelian emas batangan oleh lembaga jasa keuangan: tarif 0,25 persen.
“Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan… barang berupa emas batangan, sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai impor…,” bunyi Pasal 3 ayat 1 huruf a angka 1 huruf d.
Ketentuan Pengecualian
PMK ini juga menjabarkan berbagai kondisi yang dibebaskan dari pemungutan PPh 22. Antara lain, impor barang bebas bea masuk, pembelian barang senilai kecil oleh instansi pemerintah, dan pembelian bahan pangan pokok oleh BUMN yang ditugaskan pemerintah.
“Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: a. impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan…,” bunyi Pasal 4 ayat 1 huruf a.
Khusus pembelian oleh rekanan pemerintah yang memiliki surat keterangan PPh final UMKM atau bebas pemungutan juga tidak dikenakan pungutan PPh 22. “Pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan salinan surat keterangan yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan…,” bunyi Pasal 4 ayat 1 huruf e angka 1 huruf f.
Ketentuan Peralihan
PMK 51/2025 juga mengatur masa transisi bagi wajib pajak yang sebelumnya telah mengajukan atau menerima surat keterangan bebas bea masuk impor emas batangan untuk tujuan ekspor. Surat keterangan bebas bea masuk yang masih berlaku dapat tetap digunakan hingga masa berlakunya habis.
“Surat keterangan bebas pemungutan Pajak Penghasilan atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor yang telah diperoleh Wajib Pajak, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya surat keterangan bebas…,” bunyi Pasal 14 huruf a.
Di sisi lain, permohonan yang diajukan namun belum diproses selama berlakunya PMK ini akan diproses berdasarkan ketentuan PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Sistem Administrasi Perpajakan Inti (Coretax). Hal ini memastikan tidak adanya kekosongan hukum selama masa transisi.
Bersifat Tidak Final
Perlu diingat bahwa sebagian besar pungutan PPh 22 dalam PMK ini bersifat non-final dan dapat dikreditkan oleh wajib pajak dalam SPT Tahunan mereka. Namun, untuk penjualan bahan bakar dan gas kepada agen resmi, pungutan tersebut bersifat final.
“Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c… bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut,” bunyi Pasal 10 ayat 1.
Penyetoran dan Pelaporan
PMK 51/2025 juga menyatakan bahwa PPh Pasal 22 wajib disetorkan ke kas negara melalui agen pemungut seperti importir dan Bea Cukai. Pemungut juga wajib menyiapkan bukti pungutan PPh Pasal 22 dan memberikannya kepada wajib pajak asal pemungut pajak.
Lebih lanjut, pemungut pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa PPh (SPT Masa PPh) terpadu. Peraturan ini juga memperingatkan bahwa pemungut pajak yang tidak memenuhi persyaratan ini akan dikenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Post Comment