Ketiga Pihak Ini Mungkin Tidak Melakukan Pembukuan, tetapi Pencatatan Diperlukan

Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, serta Wajib Pajak Badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Umum Perpajakan (UU KUP). Namun, ada pihak-pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib menyelenggarakan pembukuan. Sesuai amanat Pasal 28 ayat (12) UU KUP, bentuk dan tata cara pembukuan tersebut diatur dalam Pasal 448–454 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Bentuk dan tata cara pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Pasal 28 ayat (12) UU KUP,.

Berdasarkan Pasal 448 ayat (2) PMK 81/2024, terdapat tiga pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan:
Pertama, Wajib Pajak Orang Pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPPN). Wajib Pajak tersebut adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang:
1. Menjalankan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;
2. Peredaran bruto dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas kurang dari Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak; dan
3. Wajib memberitahukan penggunaan NPPN kepada Direktur Jenderal Pajak dalam waktu tiga bulan pertama tahun pajak yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 453 ayat (1) huruf a PMK 81/2024, pencatatan yang diwajibkan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan NPPN meliputi tiga hal:

Peredaran bruto dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) tidak final;
Penghasilan bruto dari bukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenakan PPh tidak final, serta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto yang tidak dikenakan pajak dan/atau dikenakan PPh final, baik yang diperoleh dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang diperoleh dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Jika Wajib Pajak memiliki lebih dari satu jenis usaha, lokasi usaha, dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan harus secara jelas mencerminkan peredaran bruto untuk masing-masing: (i) jenis dan/atau lokasi usaha; dan/atau (ii) pekerjaan bebas yang terkait.

Kedua, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Merujuk pada Pasal 453 ayat (1) huruf b PMK 81/2024, pencatatan yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas meliputi:
penghasilan bruto yang dikenakan PPh tidak final dan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
penghasilan bruto yang tidak dikenakan pajak dan/atau dikenakan PPh final;

Ketiga, Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu. Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang:

1. menjalankan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan
2. peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a secara keseluruhan: (i) dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan merupakan Objek Pajak; dan (ii) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Mengacu pada Pasal 453 ayat (1) huruf c PMK 81/2024, pencatatan yang wajib diselenggarakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang memenuhi kriteria tertentu meliputi:
penghasilan bruto yang diperoleh dari bukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau peredaran bruto dan/atau peredaran bruto yang bukan merupakan Objek Pajak dan/atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, baik yang diperoleh dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun yang diperoleh dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas. Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu dan memiliki lebih dari satu jenis usaha, tempat usaha, dan/atau pekerjaan bebas juga diwajibkan untuk menyelenggarakan pencatatan yang secara jelas mencerminkan peredaran bruto untuk masing-masing: (i) jenis dan/atau tempat usaha; dan/atau (ii) pekerjaan bebas yang bersangkutan.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah ketiga pihak ini juga wajib mencatat aset dan liabilitasnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 453 ayat (3) PMK 81/2024.

Post Comment

Translate »