Mahkamah Konstitusi Putuskan Biaya Transportasi Gas LPG 3 Kg Bukan Objek Pajak
Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Putusan Nomor 188/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa biaya pengangkutan LPG 3 kilogram (kg) yang ditetapkan melalui keputusan gubernur, bupati, atau wali kota, tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Putusan ini sekaligus mengakhiri kontroversi pengenaan pajak atas biaya distribusi LPG bersubsidi yang sebelumnya diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kuasa hukum pemohon, Cuaca Teger, berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengoreksi kebijakan yang keliru. Ia menegaskan bahwa pengenaan pajak atas biaya pengangkutan LPG 3 kg tidak memiliki dasar hukum.
“Memajaki yang bukan objek pajak adalah tindakan ‘perampokan’ kepada masyarakat karena dilakukan tanpa berdasar undang-undang,” kata Teger dalam keterangannya, dikutip Jumat (22/8/2025).
Menurut Teger, sengketa bermula saat DJP mengeluarkan Nota Dinas Nomor ND-247/PJ/PJ.03/2021 yang memerintahkan pengenaan PPh dan PPN atas biaya transportasi LPG 3 kg dari agen ke pangkalan. Padahal, biaya tersebut diatur dengan keputusan kepala daerah yang tidak bisa dijadikan dasar pemajakan.
“Nota dinas DJP itu harus segera dicabut. Putusan MK menegaskan sama sekali tidak ada keterkaitan baik secara formal maupun substansi antara HET (Harga Eceran Tertinggi) LPG 3 kg dengan penghasilan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujarnya.
a menambahkan, para pemohon dalam proses persidangan mendalilkan bahwa pemajakan tersebut melanggar konstitusi karena bersumber dari keputusan kepala daerah, bukan undang-undang. Hal ini diperkuat MK dalam pertimbangannya yang menyebutkan bahwa kerugian konstitusional terbukti ketika DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh dan PPN kepada agen.
“Kerugian konstitusional yang dialami para pemohon nyata karena dipajaki berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis yang sebenarnya tidak timbul dari mekanisme pasar. Harga tidak ditentukan bebas oleh penjual dan pembeli, tetapi ditetapkan penguasa,” bunyi bagian pertimbangan pada amar putusan tersebut.
Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa penetapan harga pasar berbeda dengan tambahan kapasitas ekonomi yang dikenakan pajak. Dalam kasus LPG 3 kg, mekanisme pasar yang sah tidak berjalan karena nilai kegiatannya ditetapkan melalui keputusan gubernur, bupati, atau wali kota.
Meskipun pada akhirnya menolak uji materiil formil, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa biaya transportasi LPG 3 kg yang ditetapkan oleh kepala daerah tidak dikenakan pajak penghasilan maupun PPN. Hal ini berarti permohonan para pemohon dikabulkan.
Teger juga menyoroti inkonsistensi pemerintah sebagai termohon. Di satu sisi, pemerintah berargumen bahwa selisih harga dari transaksi di atas Harga Jual Eceran (HJE) Pertamina merupakan tambahan pendapatan yang dapat dikenakan pajak. Namun, di sisi lain, pemerintah mengakui bahwa Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh peraturan daerah tidak terkait dengan objek pajak.
“Pemerintah pun sebenarnya sudah mengakui bahwa selisih harga yang berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Wali kota yang merupakan HET tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan pengaturan obyek pajak maupun dasar pengenaan pajak penghasilan dan PPN,” papar Teger.
Ia pun menyebut putusan MK ini sebagai kabar baik bagi agen dan pelaku usaha, termasuk di Sumatera Selatan yang sebelumnya terbebani pungutan hingga ratusan juta rupiah.
“Keputusan ini secara tegas menggarisbawahi bahwa setiap pungutan, termasuk pajak, harus memiliki landasan hukum yang jelas berdasarkan undang-undang, bukan sekadar peraturan teknis di tingkat daerah,” pungkasnya.
Post Comment