DJP Tengah Mengkaji Pengenaan PPh Final Atas Penjualan Emas Melalui Platform Digital
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang melakukan kajian mendalam mengenai kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final atas keuntungan penjualan emas. Kajian ini disampaikan oleh Joko Galungan, Kepala Subdirektorat Pajak Penghasilan Badan pada Direktorat PP2 (Pajak Penghasilan Daerah) DJP, dalam seminar dalam rangka Pajak Goes To Campus yang digelar Tax Centre FIA Universitas Indonesia (Kamis, 18/09/2025).
Joko menjelaskan bahwa kajian ini merupakan hasil observasi terhadap potensi monetisasi emas. Berdasarkan data yang diperoleh Joko, diketahui terdapat sekitar 1.800 ton emas yang tersimpan “di bawah bantal” di masyarakat, dengan estimasi nilai mencapai Rp3.700 triliun. Dari jumlah tersebut, kurang dari 10% yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), yaitu sekitar 126 ton atau setara dengan Rp260 triliun.
Lebih lanjut, Joko menyatakan bahwa Indonesia, sebagai produsen emas utama, hanya menyimpan 78,6 ton emas di Bank Indonesia. Angka ini jauh di bawah Singapura yang menyimpan 204 ton, meskipun bukan produsen emas. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar emas di Indonesia tidak dimonetisasi di dalam negeri.
Joko juga menyoroti pasar informal yang sangat dominan, di mana transaksi jual beli tidak tercatat, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kesulitan memungut pajak atas keuntungan modal. “Selama informal, pajak tidak akan dipungut,” tegasnya. Pertumbuhan transaksi emas digital juga meningkat pesat, diperkirakan mencapai Rp50 triliun pada tahun 2024, namun masih belum dilaporkan.
Mengingat situasi ini, kebijakan Pajak Penghasilan Final dianggap sebagai solusi ideal untuk pendapatan tidak teratur atau terkait perdagangan, karena menyederhanakan proses perpajakan. Saat ini, banyak investor emas mengeluhkan rumitnya penghitungan pajak keuntungan modal, seperti kesulitan mengingat tanggal pembelian, jumlah, dan tarif yang berlaku, yang pada akhirnya membuat mereka enggan melaporkan emas mereka dalam SPT. Selain itu, regulasi yang belum lengkap dan kurangnya otomatisasi juga menjadi kendala.
Skema perpajakan yang saat ini sedang dikaji oleh DJP mencakup pemungutan Pajak Penghasilan Final atas platform perdagangan emas terdaftar. Dengan tarif yang lebih sesuai dan proses yang lebih sederhana, DJP berharap masyarakat yang saat ini bertransaksi di pasar informal akan beralih ke pasar formal. Kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong masuknya emas batangan bank dan dimonetisasi untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi, seperti pembelian properti atau kendaraan, yang pada akhirnya akan dicatat oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Berdasarkan simulasi awal, Joko memperkirakan potensi penerimaan pajak dari emas yang belum berada di pasar formal sebesar Rp4,63 triliun hingga Rp55,62 triliun. Angka ini bergantung pada seberapa besar pasar emas informal yang bertransisi menjadi pasar formal. Joko juga menyatakan bahwa penetapan tarif merupakan faktor krusial, mengingat imbal hasil setelah pajak dapat memengaruhi keputusan investor dalam memilih instrumen investasi.
Kajian ini merupakan langkah strategis untuk menangkap potensi pajak dari sektor emas, seiring dengan perubahan lanskap bisnis dan perilaku konsumen yang kini lebih mengutamakan transaksi praktis dan digital. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berkomitmen untuk menyeimbangkan kebutuhan negara dan kepentingan para pemangku kepentingan, dengan harapan kebijakan ini akan membawa terobosan dalam penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
Post Comment