Kripto Jadi Instrumen Keuangan, Peraturan Perpajakan Segera Direvisi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan merevisi peraturan perpajakan aset kripto, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81/2024. Hal ini menjadi sorotan media nasional hari ini, Kamis (24 Juli 2025).

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa revisi PMK 81/2024 diperlukan karena PMK tersebut masih mengkategorikan aset kripto sebagai komoditas.

“Sebelumnya, kami mengatur aset kripto sebagai komoditas. Kemudian, ketika aset kripto beralih menjadi instrumen keuangan, kami harus menyesuaikan peraturannya,” ujar Wijayanto.

Merujuk pada Pasal 1 angka 199 PMK 81/2024, aset kripto didefinisikan sebagai komoditas tidak berwujud berupa aset digital, yang menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar terdistribusi untuk mengatur pembentukan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak ketiga.

Perlu dicatat bahwa definisi di atas ditetapkan ketika aset kripto masih diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), unit eselon I di bawah Kementerian Perdagangan.

Saat ini, definisi dalam PMK 81/2024 tidak lagi sejalan dengan definisi aset kripto dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 27/2024. Dalam POJK tersebut, aset kripto dikategorikan sebagai aset keuangan digital.

Sebagai informasi, PMK 81/2024 memuat peraturan mengenai pengalihan aset kripto yang dikenakan PPN dan penghasilan dari transaksi aset kripto yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Secara umum, transfer aset kripto dikenakan PPN sebesar 0,11% jika dilakukan melalui bursa terdaftar. Jika transfer dilakukan melalui bursa tidak terdaftar, tarif PPN meningkat menjadi 0,22%.

Penjualan aset kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% jika dilakukan melalui bursa terdaftar. Jika penjualan dilakukan melalui bursa tidak terdaftar, PPh Pasal 22 final meningkat menjadi 0,2%.

Kontan Daily melaporkan bahwa aset kripto telah menjadi instrumen investasi yang populer. Menurut data coinmarketcap.com pada Rabu (23 Juli 2025) pukul 21.16 WIB, kapitalisasi pasar aset kripto mencapai US$3,86 triliun, naik dari US$3,26 triliun pada 1 Januari 2025. Sementara itu, nilai perdagangan aset kripto global mencapai US$193,69 miliar, naik dari US$115,22 miliar pada 1 Januari 2025.

Di dalam negeri, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total nilai transaksi kripto sebesar Rp49,57 triliun pada Mei 2025. Angka ini meningkat 39,20% dibandingkan April 2025.

Secara akumulasi dari Januari hingga Mei 2025, nilai transaksi aset kripto di Indonesia mencapai Rp194,48 triliun. Nilai transaksi tersebut didukung oleh peningkatan jumlah pengguna aset kripto sebesar 14,39%, mencapai 14,78 juta pada Mei 2025 dari 12,92 juta pada Januari 2025.

Pengamat Pasar Kripto Ibrahim Assuaibi menilai pengenaan pajak atas aset kripto wajar, terutama mengingat kinerja industri kripto dalam negeri yang terus meningkat. Dibandingkan dengan pasar modal dan derivatif, kripto memiliki basis pengguna yang besar.

“Transaksi pembelian tetap berjalan, meskipun ada pengenaan pajak,” jelasnya.

Sementara itu, CEO Tokocrypto Calvin Kizana menjelaskan bahwa transaksi kripto sebelumnya dikenakan PPh final dan PPN karena merupakan komoditas digital. Namun, berdasarkan peraturan baru, aset kripto akan diperlakukan seperti instrumen keuangan lainnya, seperti saham atau reksa dana.

Ini berarti ia memperkirakan bahwa pengenaan pajak kripto di masa mendatang hanya akan berupa PPh final, tanpa PPN.

Post Comment

Translate »